Rabu, 26 Mei 2010

RABIES

RABIES

• Penyakit bersifat fatal yang menyerang sistim syaraf dan dapat menular ke manusia (zoonosis) dan juga dapat disebut Hidrofobia.
• Causa: Rabdovirus
• Penularan :
melalui gigitan dan jilatan pada kulit yang terbuka oleh hewan penderita HPR ( hewan penular rabies / anjing, kucing, kera) yang tertular dan masuk melalui syaraf menuju Medulla Spinalis dan Otak dan berkembang biak , selanjutnya virus melalui syaraf ke kelenjar liur masuk kedalam air liur dst
• Hewan rentan :
– Anjing
– Kucing
– Kera
– Kelelawar
– Rakun
– Rubah
Gejala Klinis :
- Gejala timbul dalam waktu 30-50 hari setelah terinfeksi
- Masa inkubasi bervariasi dari 10 hari sampai lebih dari 1 tahun.
Masa inkubasi, paling pendek pada orang yang digigit pada kepala dan daerah wajah serta bila gigitan terdapat di banyak tempat terjadinya kelumpuhan yang dimulai pada tungkai bawah yang menjalar ke seluruh tubuh . Depresi mental, keresahan, tidak enak badan dan demam. Keresahan akan meningkat menjadi kegembiraan yang tak terkendali dan penderita akan mengeluarkan air liur. Kejang otot tenggorokan dan pita suara bisa menyebabkan rasa sakit luar biasa, kesulitan menelan dan bernafas.

PENCEGAHAN
1. Penyuluhan dan desiminasi informasi kewaspadaan Rabies
2. Pengamatan dan Penyelidikan penyakit.
3. Pengawasan lalu lintas hewan penular Rabies (HPR)
4. Penertiban dan pengawasan pemeliharaan hewan penular Rabies (HPR):
 HPR harus dikandangkan dan diikat dengan tali minimal (satu) meter.
 HPR dilarang dilepas
 HPR secara rutin diperiksakan kesehatannya kepada dokter hewan praktek/klinik hewan/runah sakit hewan
 HPR dilarang mendekati, membiarkan dan berkumpul dengan HPR lain diluar rumah
 HPR diluar rumah harus diikuti oleh pemilik/ pelatih (kennel boy) dan diikat dengan tali sepanjang 1 (satu) meter.
 HPR dilarang berkerumun di suatu tempat pembuangan sampah, taman bermain anak-anak, tempat umum
 Bila kedapatan HPR menggigit manusia, maka HPR segera ditangkap dan dibawa ke Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan untuk dilakukan observasi dan manusianya segera dibawa ke PUSKESMas / rumah sakit terdekat


GEJALA KLINIS PADA STADIUM :
1. Stadium prodromal
Sakit yang timbul tidak khas, menyerupai infeksi virus pada umumnya yang meliputi demam, sulit makan menuju anoreksia , pusing dan pening (nausea), dsb.
2. Stadium sensoris
Biasanya daerah luka gigitan akan terasa nyeri, panas, gugup, kebingungan, keluar banyak air liur (hipersalivasi), dilatasi pupil, hiperhidrosis, hiperlakrimasi.
3. Stadium eksitasi
Penderita gelisah, mudah kaget, kejang-kejang setiap ada rangsangan dari luar sehingga terjadi ketakutan pada udara (aerofobia), ketakutan pada cahaya (fotofobia), dan ketakutan air (hidrofobia).Kejang-kejang terjadi akibat adanya gangguan daerah otak yang mengatur proses menelan dan pernapasan. Hidrofobia yang terjadi pada penderita rabies terutama karena adanya rasa sakit yang luar biasa di kala berusaha menelan air
4. Stadium paralitik
Setelah melalui ketiga stadium sebelumnya, penderita memasuki stadium paralitik ini menunjukkan tanda kelumpuhan dari bagian atas tubuh ke bawah yang progresif.

DIAGNOSIS
Jika seseorang digigit hewan, maka hewan yang menggigit harus diawasi. Satu-satunya uji yang menghasilkan keakuratan 100% terhadap adanya virus rabies adalah dengan uji antibodi fluoresensi langsung (direct fluorescent antibody test/ dFAT) pada jaringan otak hewan yang terinfeksi. Uji ini telah digunakan lebih dari 40 tahun dan dijadikan standar dalam diagnosis rabies.
Prinsipnya adalah ikatan antara antigen rabies dan antibodi spesifik yang telah dilabel dengan senyawa fluoresens yang akan berpendar sehingga memudahkan deteksi Namun, kelemahannya adalah subjek uji harus disuntik mati terlebih dahulu (eutanasia) sehingga tidak dapat digunakan terhadap manusia.
Akan tetapi, uji serupa tetap dapat dilakukan menggunakan serum, cairan sumsum tulang belakang, atau air liur penderita walaupun tidak memberikan keakuratan 100%.
Selain itu, diagnosis dapat juga dilakukan dengan biopsi kulit leher atau sel epitel kornea mata walaupun hasilnya tidak terlalu tepat sehingga nantinya akan dilakukan kembali post mortem diagnosis setelah hewan atau manusia yang terinfeksi meninggal.

TINDAKAN KEWASPADAAN LALU LINTAS Hewan Penular Rabies (HPR) :
– Pelarangan pemasukan bahan biologik yang mengandung virus Rabies.
– Pemasukan anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya yang dimasukkan ke daerah atau wilayah bebas Rabies di Indonesia harus memiliki Surat Keterangan Identitas (paspor) dan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (Health certificate) yang dikeluarkan oleh dokter hewan yang berwenang dinegara atau daerah asal.
– Surat Keterangan Identitas tersebut memuat :
 Keadaan umum yaitu ras, jenis, warna bulu, berat badan, kepemilikan, negara atau daerah asal, transit/stop over dan dinyatakan telah berada atau telah dipelihara sejak lahir sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terakhir sebelum diberangkatkan dari daerah / wilayah/ daerah asal.

KEADAAN KHUSUS :
1. Hewan yang sedang bunting 6 minggu serta hewan yang sedang menyusui tidak boleh dimasukkan ke wilayah atau daerah bebas Rabies di Indonesia
2. Dalam kondisi pengobatan / sedang sakit
3. Vaksinasi untuk Rabies in aktif sebelum diberangkatkan sekurang- kurangnya 30 hari dan tidak boleh lebih dari satu tahun
4. Hewan yang sedang bunting enam minggu serta hewan yang sedang menyusui tidak boleh dimasukkan kedalam wilayah atau Daerah bebas Rabies di Indonesia

Rangkuman
Pertemuan Review Kewaspadaan Dini Terhadap Penyakit RABIES di JAWA TIMUR
Tanggal 21 Mei 2010
Di : Hotel Utami Surabaya
Dihadiri : drh. Djoko Sutopo (Disnak Kab. Blitar)

Jumat, 21 Mei 2010

REKOMENDASI RAKOR PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN MENULAR DAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER 2010

Written by Drh. SAMKHAN, M.Pert
Wednesday, 19 May 2010 11:05

REKOMENDASI

RAKOR PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN MENULAR

DAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

Jogjakarta, 17-19 Mei 2010



Rapat koordinasi penanggulangan penyakit hewan menular dan kesehatan masyarakat se Jawa tahun 2010 diikuti oleh Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta, Balai Penyidikan dan Pengujian Regional VIII Subang, Badan Karantina Pertanian, Balai-Balai Karantina Pertanian, Pusvetma, BPMSOH, BIB Lembang, BBIB Singosari, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada dan UNAIR, UPT Pusat dan daerah, BPTU Baturaden, BET Cipelang, Dinas Peternakan atau yang membidangi fungsi peternakan se Jawa, Lab. Keswan / Kesmavet dan Puskeswan se Jawa. Setelah mengikuti dan mencermati pengarahan dan paparan dari Direktur Kesehatan Hewan, paparan dari berbagai narasumber, pendapat, saran masukan serta diskusi yang berkembang maupun paparan lainnya selama pertemuan maka disampaikan rekomendasi sebagai berikut :


A. PELAPORAN

1. Dinas Peternakan atau Dinas yang membidangi fungsi peternakan propinsi dan kabupaten/ kota dan Lab. Tipe B dan Tipe C diminta secara aktif dan rutin untuk mengirimkan laporan situasi PHM (formulir E1, E 29 dan pelaporan terjadinya wabah) di tingkatkan di daerah masing-masing kepada Direktorat Jenderal Peternakan dan tembusan Ke Balai Besar Veteriner Wates.

2. Agar pemerintah pusat mengingatkan Propinsi dan Kabupaten / Kota yang belum / tidak mengirimkan laporan untuk memper-mudah koordinasi kerja institusi yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di daerah dengan pemerintah daerah setempat.

3. Mulai tahun depan diharapkan masing-masing pemakalah (terutama dari Dinas Propinsi) menampilkan laporan mengenai :

a. Sasaran / Target perencanaan Program

b. Evaluasi untuk mengetahui pencapaian sasaran / target yang telah direncanakan.

4. Pembebasan PHM disuatu wilayah/daerah perlu mendapatkan prioritas sesuai dengan kaidah OIE


B. UPAYA PENCAPAIAN PSDS 2014

Secara umum kita harus membangun komitmen dan persepsi yang sama antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Kabupaten /Kota, Masyarakat dan seluruh stakeholders sehingga mampu mengoptimalkan dan mensinergikan seluruh aspek-aspek pendanaan, perangkat lunak dan keras, peraturan perundangan, sarana-prasarana, kelembagaan, SDM dan komunikasi-informasi dengan pendekatan partisipatif. Selain itu juga adanya koordinasi dan sinkronisasi lintas sektoral maupun subsektoral pada level pusat, daerah maupun di lapangan serta komitmen pimpinan organisasi dan kelembagaan yang menangani fungsi-fungsi pembangunan peternakan terutama fungsi Kesehatan Hewan (KESWAN) dan esehatan Masyarakat Veteriner (KESMAVET) serta fungsi Karantina Hewan. Sedangkan.

Secara Khusus upaya-upaya yang harus lebih mendapat perhatian dan agar dapat lebih ditingkatkan penajaman pelaksanaan kegiatan-kegiatan untuk mendukung PSDS 2014 yang telah disepakati dan ditetapkan berdasarkan pendekatan fungsi-fungsi Pembangunan Peternakan terutama fungsi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner yaitu :

1. Fungsi Kesehatan Hewan diprioritaskan melalui penajaman kegiatan pembebasan beberapa Provinsi dari Penyakit Hewan Menular (PHM) yang menyebabkan gangguan reproduksi, mengoptimalkan kegiatan penanganan penyakit dan gangguan reproduksi serta pelayanan kesehatan hewan dalam rangka pengendalian PHM strategis dan lainnya. Memperkuat peran dan fungsi UPT Pusat, Daerah dan Puskeswan dengan meningkatkan kemampuan SDM dan sumberdaya lainnya sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan Surveillance dan Diagnosis PHM strategis dan lainnya serta pelayanan Kesehatan Hewan.

2. Fungsi Kesehatan Masyarakat Veteriner diprioritaskan penajamannya terhadap kegiatan penyelamatan Sapi Betina Produktif, pemberdayaan dan peningkatan kualitas RPH serta pengaturan Stok Sapi Bakalan dan Daging Sapi. Berdasarkan rencana pagu indikatif APBN Direktorat Jenderal Peternakan tahun 2011 akan dialokasikan sebesar Rp 2,23 Trilyun yang meningkat secara signifikan yaitu sebesar 98 % dari tahun sebelumnya. Hal ini perlu mendapat perhatian agar kita mampu memanfaatkan secara efisien, efektif , tertib dan ekonomis. Oleh karena itu perlu disusun perencanaan yang komprehensif dengan penajaman-penajaman prioritas sehingga mampu mendorong pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang betul-betul ber-orientasi pada peningkatan produksi dan produktivitas sapi potong lokal serta pencapaian kesejahteraan petani-peternak.


C. PELAKSANAAN SURVEILLANCE DAN MONITORING

Pelaksanaan Surveillance dan Monitoring terhadap 5 (lima) Penyakit Hewan Menular (PHM) strategis yaitu : Avian Influenza, Rabies, Anthrax, Brucellosis dan Hog Cholera, perlu terus ditingkatkan baik secara kualitas dan kuantitasnya sesuai dengan kaidah OIE, sehingga hasil yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan dan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam penyusunan kebijakan. Adapun penjelasan kegiatan pokok yang harus dilaksanakan sbb :



AVIAN INFLUENZA

a. Penanggulangan Penyakit Avian Influenza diprioritaskan pada daerah padat unggas, padat penduduk, dan lokasi yang beresiko tinggi seperti tempat penampungan unggas, dan pasar tradisional/ pasar becek, terutama di wilayah DKI Jakarta, Propinsi Banten dan Jawa Barat. Hal ini ditujukan untuk menekan dan mengantisipasi kejadian AI pada hewan dan manusia.

b. Sehubungan dengan berakhirnya kerjasama dengan FAO dan pihak asing lainnya dalam penanggulangan AI (tahun 2010), khususnya dalam memfasilitasi dan membiayai kegiatan PDSR yang akan datang maka harus dirumuskan kelanjutannya oleh pusat dan daerah.

c. Perlu disusun data base penyakit secara rinci menyangkut: Attack Rate, Case Fatality Rate, analisa resiko dan data pendukung lainnya, sehingga kita dapat melakukan pengukuran penyakit (disease measurement) secara pasti untuk mengetahui derajat keberhasilan program pengendalian PHM.

d. Vaksin AI yang beredar di lapangan diindikasikan sudah tidak protektif lagi sehingga perlu dicari master seed baru yang mewakili dimensi waktu dan sebaran geografis terutama dari wilayah Jawa Bagian Timur, untuk dipilih sebagai calon master seed virus untuk pembuatan vaksin AI baru.

e. Unggas yang bertahan terhadap penyakit AI terjadi penyebaran virus kedaging dan kulit sehingga tidak aman untuk dikonsumsi Perlu ditingkatkan sosialisasi pada masyarakat atau Public awarness. Indikasi terjadinya cluster sudah terbukti, sehingga perlu meningkatkan koordinasi antar profesi untuk menghadapi pandemi Flu Burung.

f. Surveillance dalam rangka mendukung pengendalian dan pemberantasan HPAI perlu terus dilakukan bahkan ditingkatkan terutama pada lokasi atau daerah beresiko tinggi. Koordinasi yang baik dengan Dinas Peternakan atau Dinas yang membidangi fungsi peternakan atau kesehatan hewan dan PDSR perlu ditingkatkan. Tim PDSR perlu menyampaikan tembusan hasil Surveillance kepada Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta agar pemetaan kasus HPAI dapat dilakukan secara komprehensif, Surveillance dalam rangka mendukung pengendalian dan pemberantasan HPAI perlu terus dilakukan bahkan ditingkatkan terutama pada lokasi atau daerah beresiko tinggi. Koordinasi yang baik dengan Dinas Peternakan atau Dinas yang membidangi fungsi peternakan atau kesehatan hewan dan PDSR perlu ditingkatkan. Tim PDSR perlu menyampaikan tembusan hasil Surveillance kepada Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta agar pemetaan kasus HPAI dapat dilakukan secara komprehensif.



RABIES

a. Rabies merupakan penyakit incidental zoonosis dengan target utama hewan berdarah panas. Rabies dapat dikendalikan melalui vaksinasi dengan coverage >70%. Dalam melakukan Surveillance Rabies perlu dipertimbangankan kondisi wilayah, kondisi Hewan Penular Rabies (HPR), dan evaluasi hasil vaksinasi dengan membentuk daerah-daerah penyangga (immune belt).

b. Kualitas vaksin Rabies produk PUSVETMA terbukti bagus, perlu diperhatikan penangannya dilapangan untuk mempertahan-kan mutunya.

c. Surveillance dengan pemeriksaan otak melalui uji (FAT) dapat meneguhkan status rabies di wilayah survey.

d. Pemberantasan Rabies mempertimbangkan kondisi tertentu (musim kawin) untuk mengoptimalkan hasilnya.

e. Pengawasan lalulintas Hewan Penular Rabies (HPR) di daerah terpencil diperketat dengan melibatkan partisipasi masyarakat melalui peningkatan public awarness.

f. Pengendalian Rabies pada anjing geladak dan anjing liar perlu dipertimbangkan pemakaian vaksin oral dan dikombinasikan dengan tindakan eliminasi HPR.


BRUCELLOSIS

a. Surveillance Brucellosis pada sapi perah dan sapi potong ditingkatkan dan perlu dilakukan sertifikasi sebagai syarat mutasi dengan menyertakan SKKH.

b. Pengendalian Brucellosis masih mengacu test and slaughter (bila prevalensi <2%), dan vaksinasi dilaksanakan bila prevalensi >2%.

c. Perlu segera dilakukan upaya pemotongan bersyarat terhadap reaktor-reaktor positip brucella. Apabila pemotongan ternak tersebut tidak dapat dilakukan dengan segera maka perlu dilakukan isolasi dan pengawasan terhadap keberadaan reaktor-reaktor tersebut untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit

d. Perlu dilaksanakan identifikasi ternak untuk mempermudah penelusuran riwayat ternak (treasibility) positif brucela namun tidak bisa memotong keseluruhannya karena keterbatasan kompensasi.

e. Sero surveillance pada sapi potong sampai saat ini masih negatif brucelosis.

f. Merencanakan Pembebasan Brucellosis di DIY, sesuai dengan kaidah OIE


HOG CHOLERA

a. Surveillance terhadap Hog Cholera tetap harus dilakukan terutama pada sentra-sentra produksi babi untuk melihat status penyakit tersebut.

b. Hog Cholera sudah menjadi penyakit endemic di Indonesia, bukan penyakit prioritas sehingga penanggulangannya menjadi tanggung jawab private sector dan masyarakat.

c. Adanya penyakit Porcine Reproduction Respiratory Syndrom (PRRS) yang muncul di berbagai daerah perlu diwaspadai, dan menjadi tanggung jawab private sector dan masyarakat dalam penanggulangannya karena bukan merupakan penyakit hewan menular prioritas.

d. Merencanakan Pembebasan Hog Cholera di DIY, sesuai dengan kaidah OIE


ANTHRAX

a. Surveillance dilaksanakan mengacu sero-prevalence untuk mengevaluasi keberhasilan vaksinasi.

b. Pengawasan oleh pemerintah terhadap pemeriksaan ante mortum dan post mortum di Rumah Potong Hewan (RPH) dan Tempat Pemotongan Hewan (TPH) perlu ditingkatkan untuk mencegah penyebaran penyakit.

c. Pengawasan secara ketat lalu lintas hewan / ternak dan produk ternak terutama di daerah-daerah yang berbatasan dengan daerah endemik.



D. PENYAKIT EKSOTIK

Penyakit eksotik PMK, BSE dan Paratuberculosis :

a. Surveillance PMK yang dilaksanakan oleh PUSVETMA akan lebih dioptimalkan, UPT selain PUSVETMA dapat melakukan Surveillance PMK, tetapi harus dilakukan standarisasi pengujian dengan PUSVETMA.

b. Surveillance diprioritaskan di lokasi strategis seperti daerah perbatasan, lokasi beredarnya produk daging impor dari Negara yang beresiko tinggi.

c. Peningkatan Surveillance terhadap penyakit BSE terutama di RPH dan pengawasan terhadap penggunaan bahan asal ruminansia (MBM) sebagai pakan ternak ruminansia.

d. Pengujian kembali (retesting) Paratuberculosis pada sapi-sapi bibit import dan peningkatan Surveillance dan Monitoring terhadap sapi eks impor dan lokal.

e. Surveillance BSE dilakukan dengan pengambilan sampel otak di RPH dan pengujiannya dengan histopatologi, sedangkan surveillance terhadap bahan asal ruminansia (MBM) belum dilakukan

f. Surveillance terhadap penyakit Paratuberculosis sudah dilakukan baik pada ternak bibit maupun ternak eks impor dan lokal


C. KEBERADAAN BALAI PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN VETERINER REGIONAL VIII SUBANG

Dengan beroperasinya secara resmi BPPV Regional VIII Subang maka pembagian wilayah kerja pelayanan Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta yang semula meliputi propinsi Jatim, Jateng, DI Yogyakarta, Jabar, Banten dan DKI Jakarta akan berubah menjadi Provinsi Jatim, Jateng dan DI Yogyakarta (sesuai dengan SK Permentan No. 39.1 / Permentan / OT.140 / 8 / 2009), sedangkan wilayah provinsi Jabar, Banten dan DKI Jakarta akan menjadi wilayah pelayanan dari BPPV Regional VIII Subang (sesuai dengan SK Permentan No. 38.1 / Permentan / OT.140 / 8 / 2009). Meskipun demikian untuk keberlanjutan pelayanan kesehatan hewan di ke 3 provinsi tersebut masih diperlukan koordinasi dan pembinaan teknis dari Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta ke BPPV Regional VIII Subang sampai BPPV Regional VIII Subang secara teknis mampu untuk melakukan tugas dan fungsinya.



D. KERJASAMA DENGAN UPT DAN PEMBINAAN LABORATORIUM

a. Kerjasama antara Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta dengan UPT pembibitan harus ditingkatkan dalam bidang kesehatan hewan, monitoring kesehatan ternak bibit dilaksanakan 2 (dua) kali setahun. Jenis penyakit yang menjadi prioritas adalah John’s Disease, IBR, BVD, Brucellosis, Bovine Genital Camphylobacter (BGC), EBL, dan Trichomonas dll.

b. Dalam keadaan insidentil dapat dipertimbangkan pengujian-pengujian tambahan

c. setelah diresmikannya Laboratorium BPPV Regional VIII Subang, maka Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta tetap melakukan pembinaan teknis sesuai dengan wilayah kerja masing-masing.

d. Pembinaan terhadap laboratorium type B, type C dan Puskeswan oleh Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta terus dilaksanakan melalui pelatihan, magang dan standarisasi pengujian dan kegiatan-kegiatan supervisi lainnya.


E. KARANTINA

a. Mekanisme kerja karantina tidak dapat didelegasikan ke daerah melalui otonomi daerah.

b. Karantina hendaknya meningkatkan perannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai barrier lalulintas ternak.

c. Pengambilan sampel yang dilakukan oleh Karantina harus dikoordinasikan dengan laboratorium Veteriner BPPV/BBVet dan Dinas Peternakan atau Dinas yang membidangi peternakan atau kesehatan hewan setempat, sesuai amanat Permentan No.51 Tahun 2006.

d. Penetapan Instalasi Karantina Hewan Sementara (IKHS) dilakukan Karantina Hewan dengan mengacu rekomendasi dari Dinas Peternakan Propinsi, Kabupaten/ Kota sesuai dengan peruntukan tata ruang.

e. Perlu kerjasama dan koordinasi pelaksanaan pengujian PHM strategis antara Laboratorium Karantina dan Laboratorium Veteriner.


Jogjakarta, 19 Mei 2010

Tim Perumus
Last Updated on Wednesday, 19 May 2010 16:05 Sumber.www.bbvetjogja.com

Kamis, 13 Mei 2010

Hasil Pertemuan Teknis Fungsi Fungsi Pembangunan Peternakan T.A. 2010

Hasil Pertemuan Teknis Fungsi Fungsi Pembangunan Peternakan T.A. 2010

Pertemuan Teknis Fungsi-Fungsi Pembangunan Peternakan Tahun 2010 yang diselenggarakan selama 3 (tiga) hari dari tanggal 27 - 29 April 20010 di Surabaya menghasilkan beberapa rumusan penting. Rumusan tersebut hasil dari diskusi sidang pleno maupun kelompok atas sambutan dan paparan Direktur Jenderal Peternakan tentang “Membangun Komitmen Pelaksanaan 13 Langkah Operasional PSDS”, paparan Inspektur Jenderal tentang “Implementasi Sistem Pengendalian Internal Kementerian Pertanian” dan paparan “Penajaman Kegiatan Mendukung Langkah Operasional PSDS” oleh para Direktur lingkup Direktorat Jenderal Peternakan dan Sekretaris Direktorat Jenderal Peternakan, hasil beberapa rumusan penting tersebut sebagai berikut :

1. Mengingatkan kembali bahwa program swasembada daging sapi 2014 merupakan kelanjutan dari program yang pernah dimulai sejak tahun 1998 yang kemudian berlanjut pada tahun 2008 sampai 2010 dan saat ini merupakan bagian dari kontrak politik (program prioritas) Menteri Pertanian dengan Presiden yang didukung oleh justifikasi teknis, sosial, ekonomi dan politik.
2. Harus dibangun komitmen dan persepsi yang sama antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, masyarakat dan seluruh stakeholders dari sejak perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi mencakup aspek-aspek pendanaan, perangkat lunak dan keras, peraturan perundangan, sarana-prasarana, kelembagaan, sumberdaya manusia dan komunikasi-informasi-edukasi dengan pendekatan partisipatif.
3. Perlu adanya koordinasi lintas sektoral maupun subsektoral pada level pusat maupun di lapangan, termasuk antara dinas yang menangani fungsi-fungsi peternakan dengan Badan Koordinasi Penyuluhan (BAKORLUH) yang ada di daerah untuk lebih memberdayakan PPL yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan pelaksanaan PSDS di lapangan.
4. Sangat diperlukan komitmen pimpinan organisasi dan kelembagaan yang menangani fungsi-fungsi pembangunan peternakan agar terbangun independensi pengawasan internal, program yang berbasis ketaatan terhadap peraturan dan etika yang adil dan konsisten, keterlibatan stakeholders dalam fungsi pengawasan, portofolio kompetensi aparat pengawasan agar kinerja dapat ditingkatkan.
5. Berdasarkan pagu indikatif APBN Ditjen Peternakan tahun 2011 sebesar Rp 2,23 Trilyun yang meningkat secara signifikan sebesar 98 % dari tahun sebelumnya, perlu dimanfaatkan secara efisien dan efektif untuk mendukung PSDS 2014. Oleh karena itu, perlu disusun perencanaan kegiatan yang betul-betul berorientasi pada peningkatan produksi dan kesejahteraan peternak.

(Dicuplik dari Rumusan Hasil Pertemuan Teknis Fungsi-Fungsi Pembangunan Peternakan TA.2010 - Tim Website Ditjen Peternakan)

Senin, 10 Mei 2010

Pelantikan DPW HIMPULI (Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia) Provinsi Jawa Timur

Pada tanggal 1 April 2010 di Sukorejo, Pasuruan telah dikukuhkan DPW HIMPULI Jawa Timur Periode 2010-2015, pengukuhkan ini bertepatan dengan ulang tahun ke 3 terbentuknya Himpuli Pusat. Himpuli sendiri merupakan kepanjangan dari Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia yang merupakan salah satu wadah bagi peternak unggas lokal untuk tumbuh dan berkembang menjadi organisasi yang kuat dan dapat memberi manfaat baik bagi seluruh anggotanya maupun bagi para pengembangan peternak unggas lokal yang ada di Indonesia. Selain dari pada itu Himpuli dapat juga untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan teknis bagi peternak, sehingga pada akhirnya dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan peternakan serta sebagai penyedia protein hewani untuk masyarakat Indoensia.

Jumat, 07 Mei 2010

Pertemuan Validasi Data Peternakan Tahun 2010

Pada hari Kamis tanggal 22 April 2010, bertempat di Hotel Mirah Bogor telah dilaksanakan Pembukaan Pertemuan Validasi Data Peternakan Tahun 2010 dengan agenda utama penetapan angka tetap 2009 dan angka perkiraan tahun 2010 untuk populasi ternak, produksi hasil ternak (daging, telur dan susu). Pertemuan tersebut dihadiri oleh seluruh wakil dari Dinas Peternakan atau yang melaksanakan fungsi peternakan seluruh Provinsi. Hadir pula sebagai nara sumber pertemuan dari : Badan Pusat Statistik, Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian dan pemangku kepentingan lainnya. Pada acara ini dipimpin langsung oleh Dr. Drh. Sjamsul Bahri, MS selaku Sekretaris Direktorat Jenderal Peternakan.

Validasi data peternakan tahun 2010 ini disamping membahas agenda reguler, juga membahas berbagai rencana kegiatan yang terkait dalam upaya lebih menyempurnakan data peternakan. Dalam rangka mensukseskan program PSDS 2014, diperlukan data yang lebi akurat, maka diperlukan pendataan Ternak Sapi Potong dengan metodologi Sensus yang akan dilaksanakan tahun 2011.

Melalui pendataan ternak sapi potong dengan metode sensus, maka tidak akan ada lagi ternak sapi potong yang tidak teridentifikasi, sehingga pemerintah dengan mudah melaksanakan pembinaan pada peternak dan memfasilitasi layanan teknis berupa layanan IB, Kesehatan hewan, Pasar Hewan, RPH dan lainnya.

Sumber : www.ditjennak.go.id