Written by Drh. SAMKHAN, M.Pert
Wednesday, 19 May 2010 11:05
REKOMENDASI
RAKOR PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN MENULAR
DAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
Jogjakarta, 17-19 Mei 2010
Rapat koordinasi penanggulangan penyakit hewan menular dan kesehatan masyarakat se Jawa tahun 2010 diikuti oleh Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta, Balai Penyidikan dan Pengujian Regional VIII Subang, Badan Karantina Pertanian, Balai-Balai Karantina Pertanian, Pusvetma, BPMSOH, BIB Lembang, BBIB Singosari, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada dan UNAIR, UPT Pusat dan daerah, BPTU Baturaden, BET Cipelang, Dinas Peternakan atau yang membidangi fungsi peternakan se Jawa, Lab. Keswan / Kesmavet dan Puskeswan se Jawa. Setelah mengikuti dan mencermati pengarahan dan paparan dari Direktur Kesehatan Hewan, paparan dari berbagai narasumber, pendapat, saran masukan serta diskusi yang berkembang maupun paparan lainnya selama pertemuan maka disampaikan rekomendasi sebagai berikut :
A. PELAPORAN
1. Dinas Peternakan atau Dinas yang membidangi fungsi peternakan propinsi dan kabupaten/ kota dan Lab. Tipe B dan Tipe C diminta secara aktif dan rutin untuk mengirimkan laporan situasi PHM (formulir E1, E 29 dan pelaporan terjadinya wabah) di tingkatkan di daerah masing-masing kepada Direktorat Jenderal Peternakan dan tembusan Ke Balai Besar Veteriner Wates.
2. Agar pemerintah pusat mengingatkan Propinsi dan Kabupaten / Kota yang belum / tidak mengirimkan laporan untuk memper-mudah koordinasi kerja institusi yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di daerah dengan pemerintah daerah setempat.
3. Mulai tahun depan diharapkan masing-masing pemakalah (terutama dari Dinas Propinsi) menampilkan laporan mengenai :
a. Sasaran / Target perencanaan Program
b. Evaluasi untuk mengetahui pencapaian sasaran / target yang telah direncanakan.
4. Pembebasan PHM disuatu wilayah/daerah perlu mendapatkan prioritas sesuai dengan kaidah OIE
B. UPAYA PENCAPAIAN PSDS 2014
Secara umum kita harus membangun komitmen dan persepsi yang sama antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Kabupaten /Kota, Masyarakat dan seluruh stakeholders sehingga mampu mengoptimalkan dan mensinergikan seluruh aspek-aspek pendanaan, perangkat lunak dan keras, peraturan perundangan, sarana-prasarana, kelembagaan, SDM dan komunikasi-informasi dengan pendekatan partisipatif. Selain itu juga adanya koordinasi dan sinkronisasi lintas sektoral maupun subsektoral pada level pusat, daerah maupun di lapangan serta komitmen pimpinan organisasi dan kelembagaan yang menangani fungsi-fungsi pembangunan peternakan terutama fungsi Kesehatan Hewan (KESWAN) dan esehatan Masyarakat Veteriner (KESMAVET) serta fungsi Karantina Hewan. Sedangkan.
Secara Khusus upaya-upaya yang harus lebih mendapat perhatian dan agar dapat lebih ditingkatkan penajaman pelaksanaan kegiatan-kegiatan untuk mendukung PSDS 2014 yang telah disepakati dan ditetapkan berdasarkan pendekatan fungsi-fungsi Pembangunan Peternakan terutama fungsi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner yaitu :
1. Fungsi Kesehatan Hewan diprioritaskan melalui penajaman kegiatan pembebasan beberapa Provinsi dari Penyakit Hewan Menular (PHM) yang menyebabkan gangguan reproduksi, mengoptimalkan kegiatan penanganan penyakit dan gangguan reproduksi serta pelayanan kesehatan hewan dalam rangka pengendalian PHM strategis dan lainnya. Memperkuat peran dan fungsi UPT Pusat, Daerah dan Puskeswan dengan meningkatkan kemampuan SDM dan sumberdaya lainnya sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan Surveillance dan Diagnosis PHM strategis dan lainnya serta pelayanan Kesehatan Hewan.
2. Fungsi Kesehatan Masyarakat Veteriner diprioritaskan penajamannya terhadap kegiatan penyelamatan Sapi Betina Produktif, pemberdayaan dan peningkatan kualitas RPH serta pengaturan Stok Sapi Bakalan dan Daging Sapi. Berdasarkan rencana pagu indikatif APBN Direktorat Jenderal Peternakan tahun 2011 akan dialokasikan sebesar Rp 2,23 Trilyun yang meningkat secara signifikan yaitu sebesar 98 % dari tahun sebelumnya. Hal ini perlu mendapat perhatian agar kita mampu memanfaatkan secara efisien, efektif , tertib dan ekonomis. Oleh karena itu perlu disusun perencanaan yang komprehensif dengan penajaman-penajaman prioritas sehingga mampu mendorong pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang betul-betul ber-orientasi pada peningkatan produksi dan produktivitas sapi potong lokal serta pencapaian kesejahteraan petani-peternak.
C. PELAKSANAAN SURVEILLANCE DAN MONITORING
Pelaksanaan Surveillance dan Monitoring terhadap 5 (lima) Penyakit Hewan Menular (PHM) strategis yaitu : Avian Influenza, Rabies, Anthrax, Brucellosis dan Hog Cholera, perlu terus ditingkatkan baik secara kualitas dan kuantitasnya sesuai dengan kaidah OIE, sehingga hasil yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan dan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam penyusunan kebijakan. Adapun penjelasan kegiatan pokok yang harus dilaksanakan sbb :
AVIAN INFLUENZA
a. Penanggulangan Penyakit Avian Influenza diprioritaskan pada daerah padat unggas, padat penduduk, dan lokasi yang beresiko tinggi seperti tempat penampungan unggas, dan pasar tradisional/ pasar becek, terutama di wilayah DKI Jakarta, Propinsi Banten dan Jawa Barat. Hal ini ditujukan untuk menekan dan mengantisipasi kejadian AI pada hewan dan manusia.
b. Sehubungan dengan berakhirnya kerjasama dengan FAO dan pihak asing lainnya dalam penanggulangan AI (tahun 2010), khususnya dalam memfasilitasi dan membiayai kegiatan PDSR yang akan datang maka harus dirumuskan kelanjutannya oleh pusat dan daerah.
c. Perlu disusun data base penyakit secara rinci menyangkut: Attack Rate, Case Fatality Rate, analisa resiko dan data pendukung lainnya, sehingga kita dapat melakukan pengukuran penyakit (disease measurement) secara pasti untuk mengetahui derajat keberhasilan program pengendalian PHM.
d. Vaksin AI yang beredar di lapangan diindikasikan sudah tidak protektif lagi sehingga perlu dicari master seed baru yang mewakili dimensi waktu dan sebaran geografis terutama dari wilayah Jawa Bagian Timur, untuk dipilih sebagai calon master seed virus untuk pembuatan vaksin AI baru.
e. Unggas yang bertahan terhadap penyakit AI terjadi penyebaran virus kedaging dan kulit sehingga tidak aman untuk dikonsumsi Perlu ditingkatkan sosialisasi pada masyarakat atau Public awarness. Indikasi terjadinya cluster sudah terbukti, sehingga perlu meningkatkan koordinasi antar profesi untuk menghadapi pandemi Flu Burung.
f. Surveillance dalam rangka mendukung pengendalian dan pemberantasan HPAI perlu terus dilakukan bahkan ditingkatkan terutama pada lokasi atau daerah beresiko tinggi. Koordinasi yang baik dengan Dinas Peternakan atau Dinas yang membidangi fungsi peternakan atau kesehatan hewan dan PDSR perlu ditingkatkan. Tim PDSR perlu menyampaikan tembusan hasil Surveillance kepada Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta agar pemetaan kasus HPAI dapat dilakukan secara komprehensif, Surveillance dalam rangka mendukung pengendalian dan pemberantasan HPAI perlu terus dilakukan bahkan ditingkatkan terutama pada lokasi atau daerah beresiko tinggi. Koordinasi yang baik dengan Dinas Peternakan atau Dinas yang membidangi fungsi peternakan atau kesehatan hewan dan PDSR perlu ditingkatkan. Tim PDSR perlu menyampaikan tembusan hasil Surveillance kepada Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta agar pemetaan kasus HPAI dapat dilakukan secara komprehensif.
RABIES
a. Rabies merupakan penyakit incidental zoonosis dengan target utama hewan berdarah panas. Rabies dapat dikendalikan melalui vaksinasi dengan coverage >70%. Dalam melakukan Surveillance Rabies perlu dipertimbangankan kondisi wilayah, kondisi Hewan Penular Rabies (HPR), dan evaluasi hasil vaksinasi dengan membentuk daerah-daerah penyangga (immune belt).
b. Kualitas vaksin Rabies produk PUSVETMA terbukti bagus, perlu diperhatikan penangannya dilapangan untuk mempertahan-kan mutunya.
c. Surveillance dengan pemeriksaan otak melalui uji (FAT) dapat meneguhkan status rabies di wilayah survey.
d. Pemberantasan Rabies mempertimbangkan kondisi tertentu (musim kawin) untuk mengoptimalkan hasilnya.
e. Pengawasan lalulintas Hewan Penular Rabies (HPR) di daerah terpencil diperketat dengan melibatkan partisipasi masyarakat melalui peningkatan public awarness.
f. Pengendalian Rabies pada anjing geladak dan anjing liar perlu dipertimbangkan pemakaian vaksin oral dan dikombinasikan dengan tindakan eliminasi HPR.
BRUCELLOSIS
a. Surveillance Brucellosis pada sapi perah dan sapi potong ditingkatkan dan perlu dilakukan sertifikasi sebagai syarat mutasi dengan menyertakan SKKH.
b. Pengendalian Brucellosis masih mengacu test and slaughter (bila prevalensi <2%), dan vaksinasi dilaksanakan bila prevalensi >2%.
c. Perlu segera dilakukan upaya pemotongan bersyarat terhadap reaktor-reaktor positip brucella. Apabila pemotongan ternak tersebut tidak dapat dilakukan dengan segera maka perlu dilakukan isolasi dan pengawasan terhadap keberadaan reaktor-reaktor tersebut untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit
d. Perlu dilaksanakan identifikasi ternak untuk mempermudah penelusuran riwayat ternak (treasibility) positif brucela namun tidak bisa memotong keseluruhannya karena keterbatasan kompensasi.
e. Sero surveillance pada sapi potong sampai saat ini masih negatif brucelosis.
f. Merencanakan Pembebasan Brucellosis di DIY, sesuai dengan kaidah OIE
HOG CHOLERA
a. Surveillance terhadap Hog Cholera tetap harus dilakukan terutama pada sentra-sentra produksi babi untuk melihat status penyakit tersebut.
b. Hog Cholera sudah menjadi penyakit endemic di Indonesia, bukan penyakit prioritas sehingga penanggulangannya menjadi tanggung jawab private sector dan masyarakat.
c. Adanya penyakit Porcine Reproduction Respiratory Syndrom (PRRS) yang muncul di berbagai daerah perlu diwaspadai, dan menjadi tanggung jawab private sector dan masyarakat dalam penanggulangannya karena bukan merupakan penyakit hewan menular prioritas.
d. Merencanakan Pembebasan Hog Cholera di DIY, sesuai dengan kaidah OIE
ANTHRAX
a. Surveillance dilaksanakan mengacu sero-prevalence untuk mengevaluasi keberhasilan vaksinasi.
b. Pengawasan oleh pemerintah terhadap pemeriksaan ante mortum dan post mortum di Rumah Potong Hewan (RPH) dan Tempat Pemotongan Hewan (TPH) perlu ditingkatkan untuk mencegah penyebaran penyakit.
c. Pengawasan secara ketat lalu lintas hewan / ternak dan produk ternak terutama di daerah-daerah yang berbatasan dengan daerah endemik.
D. PENYAKIT EKSOTIK
Penyakit eksotik PMK, BSE dan Paratuberculosis :
a. Surveillance PMK yang dilaksanakan oleh PUSVETMA akan lebih dioptimalkan, UPT selain PUSVETMA dapat melakukan Surveillance PMK, tetapi harus dilakukan standarisasi pengujian dengan PUSVETMA.
b. Surveillance diprioritaskan di lokasi strategis seperti daerah perbatasan, lokasi beredarnya produk daging impor dari Negara yang beresiko tinggi.
c. Peningkatan Surveillance terhadap penyakit BSE terutama di RPH dan pengawasan terhadap penggunaan bahan asal ruminansia (MBM) sebagai pakan ternak ruminansia.
d. Pengujian kembali (retesting) Paratuberculosis pada sapi-sapi bibit import dan peningkatan Surveillance dan Monitoring terhadap sapi eks impor dan lokal.
e. Surveillance BSE dilakukan dengan pengambilan sampel otak di RPH dan pengujiannya dengan histopatologi, sedangkan surveillance terhadap bahan asal ruminansia (MBM) belum dilakukan
f. Surveillance terhadap penyakit Paratuberculosis sudah dilakukan baik pada ternak bibit maupun ternak eks impor dan lokal
C. KEBERADAAN BALAI PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN VETERINER REGIONAL VIII SUBANG
Dengan beroperasinya secara resmi BPPV Regional VIII Subang maka pembagian wilayah kerja pelayanan Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta yang semula meliputi propinsi Jatim, Jateng, DI Yogyakarta, Jabar, Banten dan DKI Jakarta akan berubah menjadi Provinsi Jatim, Jateng dan DI Yogyakarta (sesuai dengan SK Permentan No. 39.1 / Permentan / OT.140 / 8 / 2009), sedangkan wilayah provinsi Jabar, Banten dan DKI Jakarta akan menjadi wilayah pelayanan dari BPPV Regional VIII Subang (sesuai dengan SK Permentan No. 38.1 / Permentan / OT.140 / 8 / 2009). Meskipun demikian untuk keberlanjutan pelayanan kesehatan hewan di ke 3 provinsi tersebut masih diperlukan koordinasi dan pembinaan teknis dari Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta ke BPPV Regional VIII Subang sampai BPPV Regional VIII Subang secara teknis mampu untuk melakukan tugas dan fungsinya.
D. KERJASAMA DENGAN UPT DAN PEMBINAAN LABORATORIUM
a. Kerjasama antara Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta dengan UPT pembibitan harus ditingkatkan dalam bidang kesehatan hewan, monitoring kesehatan ternak bibit dilaksanakan 2 (dua) kali setahun. Jenis penyakit yang menjadi prioritas adalah John’s Disease, IBR, BVD, Brucellosis, Bovine Genital Camphylobacter (BGC), EBL, dan Trichomonas dll.
b. Dalam keadaan insidentil dapat dipertimbangkan pengujian-pengujian tambahan
c. setelah diresmikannya Laboratorium BPPV Regional VIII Subang, maka Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta tetap melakukan pembinaan teknis sesuai dengan wilayah kerja masing-masing.
d. Pembinaan terhadap laboratorium type B, type C dan Puskeswan oleh Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta terus dilaksanakan melalui pelatihan, magang dan standarisasi pengujian dan kegiatan-kegiatan supervisi lainnya.
E. KARANTINA
a. Mekanisme kerja karantina tidak dapat didelegasikan ke daerah melalui otonomi daerah.
b. Karantina hendaknya meningkatkan perannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai barrier lalulintas ternak.
c. Pengambilan sampel yang dilakukan oleh Karantina harus dikoordinasikan dengan laboratorium Veteriner BPPV/BBVet dan Dinas Peternakan atau Dinas yang membidangi peternakan atau kesehatan hewan setempat, sesuai amanat Permentan No.51 Tahun 2006.
d. Penetapan Instalasi Karantina Hewan Sementara (IKHS) dilakukan Karantina Hewan dengan mengacu rekomendasi dari Dinas Peternakan Propinsi, Kabupaten/ Kota sesuai dengan peruntukan tata ruang.
e. Perlu kerjasama dan koordinasi pelaksanaan pengujian PHM strategis antara Laboratorium Karantina dan Laboratorium Veteriner.
Jogjakarta, 19 Mei 2010
Tim Perumus
Last Updated on Wednesday, 19 May 2010 16:05 Sumber.www.bbvetjogja.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar